Roda kereta bergesekan dengan batang-batang rel, berhenti di pemberhentian terakhir: stasiun kiaracondong. Sekitar pukul 3 dini hari tanggal 29 Agustus kami tiba di bandung. Kami keluar dari gerbong kereta, udara bandung dingin sekali. Kami bergegas menuju mushola untuk meringkas salat. Silfiyah sudah dijemput Pakdenya, ia punya saudara di Bandung sini, makanya dia ikut program pretukaran UNY-UPI. Aku dan Anjela duduk bergantian di ruang tunggu. Ketika mengambil air wudhu, kesan pertama kali pada air Bandung, Tuhan aku mau tayamum saja. Dingin sekali dikalikan tujuh. Aku sudah membayangkan aku tak akan mandi jikalau dapat kelas pagi.
Setelah subuh lewat, kami masih duduk pada ruang tunggu. Mengisi daya baterai yang semalaman digunakan untuk spotify, yah mengusir kebosanan. Stasiun yang mulanya sepi, hanya ada aku, Anjela serta bapak-bapak yang membersihkan badan kereta, stasiun mulai dikerubungi satu per satu orang yang hendak berpergian. Terpampang kereta bertuliskan Gubeng-Kiaracondong PP parkir tepat di depan kami. Rasanya pengen pulang lagi, aih.
Saat matari mulai naik, kami mencari Grab. Kami memesan grabcar, agar membawa barang bawaan lebih mudah. Dan Anjela setengah terkaget karena jarak stasiun ke Cipaku, tempat kos kami lumayan jauh dan lumayan merogoh kocek. Aku berprasangka bahwa lebih dekat stasiun Bandung. Tapi yasudahlah, kami ingin segera sampai. Dan memberitakan kedatangan kami ke pihak kampus UPI.
First impression, Bandung kecamatan Cidadap ini munggah mudun alias naik turun. Ditambah lagi lokasi kos kami yang nyempil alias menjorok (seperti kosan lain sih) selonjor saja susah. Membuat kami harus berjalan menysuri gang-gang kecil yang tanahnya tidak rata. Aku menyeret koper setengah ngos-ngosan. Aku merasa sedang naik gunung. Setelah berjalan bak mengelilingi lapangan sepak bola U-20. Aku dan Anjela tiba di kos yang akan kami tempati 5 bulan ke depan. Dari luar nampak kecil dan sempit, tapi setelah masuk berasa di kraton. Namun, Aa’ kos (karena panggil mas bukanlah hal yang lumrah di sini), si pemilik kos tidak ada di tempat. Dia sedang di kuningan jadinya, kunci kos diwakilkan oleh teteh kantin.
Sembari menunggu teteh kantin yang mengantar anaknya sekolah, aku dan Anjela mencari sarapan. Sangat jarang orang berjualan di daerah cipaku sini, karena tempatnya terpencil mungkin. Hanya ada satu penjual di setiap blok atau belokan gang. Sekitar pukul 7 kami sarapan di warung dekat belokan gang.
Aku makan sayur bayam, satu bakso, kerupuk plus nasi. Nah, dari sini aku dan Anjela mengalami keterkejutan budaya. Kurang pantas jika disebut keterkejutan budaya. Keterkejutan ekonomi. Ya. Keterkejutan ekonomi. Bagaimana bisa sayur bayam, satu bakso yang ukurannya amat kecil di tambah kerupuk harganya 9ribu? Dari mana netizen? Aku tidak pakai air minum, aku bawa botol sendiri. Aku juga merasaknnya sebagai inflasi dadakan untuk diriku. Memang sih, dari dulu kami sudah diwanti-wanti, biaya hidup di bandung lebih mahal dari Jogja. Ah, Jogja memang sahabat karib mahasiswa. Aku menebak bahwa harga nasi kucing di sini 5 ribuan, bahkan tak ada yang jual. Jikalau digarap begini, bisa-bisa defisit ini dompet. Tapi setidaknya uang dari jurusan membantu, hehe.
Komentar
Posting Komentar