Tentang kedatanganku di Bandung. Aku bersama 2 temanku sejurusan berangkat dari stasiun lempunyangan, Yogyakarta. Aku dijemput oleh temanku, si bestie itsneini dari karangmalang sekitar pukul 16.00 lebih sedikit, padahal keberangkatan kereta pukul 18.15, jadi supaya tidak terjebak macet. Kita tahu jogja kota kecil tapi macet. Tapi ternyata lalu lintas lenggang, tidak bermacet-macetan seperti biasa jam sore, jam masyarakat pulang kuliah, sekolah, kerja dan lain-lain. Hampir pukul 16.30 aku sampai di stasiun. Dan aku melihat temanku si Anjela sudah duduk di ruang tunggu. Aku menghampiri dia. Barang bawaan kami sederhana, satu koper dan satu tas punggung. You know I was struggling so hard to pack my clothes, right? Bahaha. Prinsip kami satu koper satu tas enough. Ada sekitar satu jam lebih untuk menunggu. Kenapa juga berangkat se-gasik itu? Wehh. Karena aku ingin menghabiskan waktu ngobrol dengan besties, itsneini dan risqika. Juga Anjela yang pertama kali naik kereta, anak ngelaju sejati.
Ceritanya ini, Itsneini dan Kika mengantar aku yang akan berpisah dengan mereka 5 bulan ke depan wkwk. Kita mnegobrol ngalor-ngidul sampai jam 18.05 baru checking ticket. Kalian laki-laki tidak akan mengerti apa yang diobrolin para perempuan selama sejam lebih. Ya, kami ngobrol dari es dawet Kotagede, menara Eiffel, hingga Do timjang-nim yang brewok hahaha. Anjela sesekali ikut nimbrung dengan percakapan kami. Ibu dan adiknya menunggui kami. Adiknya adalah yang paling unik. Terdengar suara sirene kereta api mau parkir di stasiun, suara mesin kereta, suara gesekan besi dan rel, saat itulah Zidan mengajak Anjela untuk melihat kereta api yang masuk ke bawah kubah stasiun. Mereka mengintip lewat pagar besi berjeruji. Anak-anak memang memiliki ketertarikan yang ekspresif pada suatu benda, terutama transportasi. Zidan yang usianya 5 tahunan, sangat lengket dengan kakaknya. Mungkin ia merengek saat hendak ditinggal kakaknya pergi jauh, tidak terlalu jauh sih, kita masih satu pulau. Anjela berharap kalau adiknya tak perlu tumbuh secepat. While, aku tak pernah akrab dengan adikku.
Suara azan maghrib memenuhi sesak suara abstrak orang-orang yang hilir mudik. Temanku Silfiyah yang juga mau berangkat ke Bandung baru sampai kala itu. Sambil membawa kardus mejikom ia menghampiri gerombolan kami. Lampu-lampu mulai menyala, suara azan berganti dengan iqamah. Tapi, kami istiqamah untuk meringkas sholat kami di penghujung isya nanti. Karena keberangkatan kami tinggal 15 menit lagi. Di saat kami sudah akrab dengan teman, kami sudah nyaman berada di Jogja, saat itulah kami harus berpisah untuk sementara. Bayangan kota Bandung seperti kota metropolitan lain malayang-layang di sel-sel otak, antara senang dan juga gamang. Betah gak ya nanti disana?
Kereta kahuripan datang dari arah Blitar, tepat 18.15 lalu berhenti perlahan. Rupanya, lempuyangan adalah penumpang yang paling banyak menuju jawa barat. Dan saat masuk kereta, kami berdesak-desakkan untuk sampai ke gerbong 6, gerbong yang paling belakang. Tempat duduk kami juga paling belakang. Aku segera duduk di samping ibu-ibu berumur sekitar 40, dan di depanku tepat di samping Silfiyah, seorang nenek berumur 60an sedang memakan perbekalannya. Saat peluit dibunyikan, perlahan roda-roda kereta menjauh, meninggalkan lempuyangan melewati tugu dan terus hingga kutoarjo. Aku baru makan perbekalanku. Aku membawa seporsi nasi dan ayam yang aku beli lewat promo grabfood. Aku lebih memilih membeli makanan dari luar, karena aku tidak cocok dengan makanan di kereta yang mahal, tidak mengenyangkan dan juga itu-itu saja. Aku juga dibawakan kue leker dari itsneini. Mereka tahu jikalau aku ini penggemar berat leker, apalagi leker di Jogokariyan heuu.
(maaf fotonya gelap hehe :))
Kereta terus melewati stasiun demi stasiun, dan sekitar pukul sepuluh malam. Anjela menanyaiku apakah aku membawa minyak-minyakan sejenis freshcare. Namun, aku memberinya minyak kayu putih. Di sela-sela merem meleknya, ia menghirupi bau minyak kayu putih yanng menyengat, yang membuat saraf-saraf tegang menjadi kendor. Ia juga meminta izin untuk pergi ke toilet. Selang beberapa menit setelah kembali ke toilet ia meminta kresek. Dan ternyata, Anjela mabuk darat. Ia mual-mual, mengarahkan mulutnya pada bibir kresek yang terbuka. Aku tidak tahu ia muntah atau hanya mual saja. Kemudian dengan gerak cepat tangannya menunjuk pada saku tas sebelah kiri, sebuah tisu. Dia ingin diambilkan sehelai tisu. Aku memberikan beberapa lembar tisu padanya. Setelah mengelap bibirnya, ia bersandar, menutup matanya, menghirup minyak kayu putih itu lagi. Aku mengira ia kembali beristirahat. Namun ternyata ia membuka kresek indomaret itu kembali, dan menaruh bibirnya, meminta tisu lagi, terus berulang-ulang.
Aku tidak bisa tidur sepanjang perjalanan, bukan karena anjela yang mabok. Namun, karena kursi kereta ini sungguh tidak nyaman. Yang paling tidak nyaman adalah aku tidak dekat jendela. Jadi tidak bisa bernostalgia.
Komentar
Posting Komentar